KUMPULAN CERITA ABU
NAWAS
Hadiah Bagi Tebakan Jitu
Baginda Raja Harun Al Rasyid kelihatan murung. Semua
menterinya tidak ada yang sanggup menemukan jawaban dari dua pertanyaan
Baginda. Bahkan para penasihat kerajaan pun merasa tidak mampu memberi penjelasan
yang memuaskan Baginda. Padahal Baginda sendiri ingin mengetahui jawaban yang
sebenarnya. Mungkin karena amat penasaran, para penasihat Baginda menyarankan
agar Abu Nawas saja yang memecahkan dua teka-teki yang membingungkan itu. Tidak
begitu lama Abu Nawas dihadapkan. Baginda mengatakan bahwa akhirakhir ini ia
sulit tidur karena diganggu oleh keingintahuan menyingkap dua rahasia alam.
"Tuanku yang mulia, sebenarnya rahasia alam yang
manakah yang Paduka maksudkan?" tanya Abu Nawas ingin tahu. "Aku memanggilmu
untuk menemukan jawaban dari dua teka-teki yang selama ini menggoda
pikiranku." Kata Baginda. "Bolehkah hamba mengetahui kedua teka-teki
itu wahai Paduka junjungan hamba."
"Yang pertama, di manakah sebenarnya batas jagat raya
ciptaan Tuhan kita?"
tanya Baginda.
"Di dalam pikiran, wahai Paduka
yang mulia." jawab Abu Nawas tanpa sedikit pun perasaan ragu, "Tuanku
yang mulia," lanjut Abu Nawas
’ketidakterbatasan itu ada karena adanya keterbatasan. Dan keterbatasan itu
ditanamkan oleh Tuhan di dalam otak manusia. Dari itu manusia
tidak akan pernah tahu di mana batas jagat raya ini. Sesuatu yang terbatas
tentu tak akan mampu mengukur sesuatu yang tidak terbatas."
Baginda mulai tersenyum karena merasa puas mendengar penjelasan
Abu Nawas yang masuk akal. Kemudian Baginda melanjutkan teka-teki yang kedua.
"Wahai Abu Nawas, manakah yang lebih banyak jumlahnya :
bintang-bintang di langit ataukah ikan-ikan di laut?"
"Ikan-ikan di laut." jawab Abu Nawas dengan tangkas.
"Bagaimana kau bisa langsung memutuskan begitu. Apakah engkau
pernah menghitung jumlah mereka?" tanya
Baginda heran.
"Paduka yang mulia, bukankah kita semua tahu bahwa ikan-ikan
itu setiap hari ditangkapi dalam jumlah besar, namun begitu jumlah mereka tetap
banyak seolah-olah tidak pernah berkurang karena saking banyaknya. Sementara
bintang-bintang itu tidak pernah rontok, jumlah mereka juga banyak." Jawab
Abu Nawas meyakinkan.
Seketika itu rasa penasaran yang selama ini menghantui Baginda
sirna tak berbekas. Baginda Raja Harun Al Rasyid memberi hadiah Abu Nawas dan
istrinya uang yang cukup banyak. Tidak seperti biasa, hari itu Baginda
tiba-tiba ingin menyamar menjadi rakyat biasa. Beliau ingin menyaksikan
kehidupan di luar istana tanpa sepengetahuan siapa pun agar lebih leluasa
bergerak. Baginda mulai keluar istana dengan pakaian yang amat sederhana
layaknya seperti rakyat jelata. Di sebuah perkampungan beliau melihat beberapa
orang berkumpul. Setelah Baginda mendekat, ternyata seorang ulama sedang
menyampaikan kuliah tentang alam barzah. Tiba-tiba ada seorang yang datang dan
bergabung di situ, la bertanya kepada ulama itu. "Kami menyaksikan orang
kafir pada suatu waktu dan mengintip kuburnya, tetapi kami tiada mendengar
mereka berteriak dan tidak pula melihat penyiksaan-penyiksaan yang katanya sedang
dialaminya. Maka bagaimana cara membenarkan sesuatu yang tidak sesuai dengan
yang dilihat mata?" Ulama itu berpikir sejenak kemudian ia berkata,
"Untuk mengetahui yang demikian itu harus dengan panca indra
yang lain.
Ingatkah kamu dengan orang yang sedang tidur? Dia kadangkala
bermimpi dalam tidurnya digigit ular, diganggu dan sebagainya. la juga merasa
sakit dan takut ketika itu bahkan memekik dan keringat bercucuran pada
keningnya. La merasakan hal semacam itu seperti ketika tidak tidur. Sedangkan engkau
yang duduk di dekatnya menyaksikan keadaannya seolah-olah tidak ada apa-apa.
Padahal apa yang dilihat serta dialaminya adalah dikelilirigi ular-ular. Maka
jikamasalah mimpi yang remeh saja sudah tidak mampu mata lahir melihatnya,
mungkinkah engkau bisa melihat apa yang terjadi di alam barzah?"
Baginda Raja terkesan dengan penjelasan ulama itu. Baginda masih
ikut mendengarkan kuliah itu. Kini ulama itu melanjutkan kuliahnya tentang alam
akhirat. Dikatakan bahwa di surga tersedia hal-hal yang amat disukai nafsu,
termasuk benda-benda. Salah satu benda-benda itu adalah mahkota yang amat luar
biasa indahnya. Tak ada yang lebih indah dari barang-barang di surga karena
barang-barang itu tercipta dari cahaya. Saking ihdahnya maka satu mahkota jauh
lebih bagus dari dunia dan isinya. Baginda makin terkesan. Beliau pulang
kembali ke istana.Baginda sudah tidak sabar ingin menguji kemampuan Abu Nawas.
Abu Nawas dipanggil: Setelah menghadap Bagiri "Aku menginginkan engkau
sekarang juga berangkat ke surga kemudian bawakan aku sebuah mahkota surga yang
katanya tercipta dari cahaya itu. Apakah engkau sanggup Abu Nawas?"
"Sanggup Paduka yang mulia." kata Abu Nawas langsung menyanggupi
tugas yang mustahil dilaksanakan itu. "Tetapi Baginda harus menyanggupi
pula satu sarat yang akan hamba ajukan."
"Sebutkan sarat itu." kata Baginda Raja.
"Hamba mohon Baginda menyediakan pintunya agar hamba bisa
memasukinya."
"Pintu apa?" tanya Baginda belum mengerti. Pintu alam
akhirat." jawab Abu Nawas.
"Apa itu?" tanya Baginda ingin tahu.
"Kiamat, wahai Padukayang mulia. Masing-masing alam mempunyai
pintu. Pintu alam dunia adalah liang
peranakan ibu. Pintu alam barzah adalah kematian. Dan pintu alam
akhirat adalah kiamat. Surga berada di alam akhirat. Bila Baginda masih tetap
menghendaki hamba mengambilkan sebuah mahkota di surga, maka dunia harus kiamat
teriebih dahulu." Mendengar penjetasan Abu Nawas Baginda Raja terdiam.
Di sela-sela kebingungan Baginda Raja Harun Al Rasyid, Abu Nawas
bertanya lagi,
Cerita humor: Abunawas Pengawal Raja
Alkisah,
Abunawas bertugas menjadi pengawal raja, kemanapun Raja pergi Abunawas selalu
ada didekatnya . Raja membuat Undang Undang kebersihan lingkungan, yang pada
salah satu fasalnya berbunyi, Dilarang berak di sungai kecuali Raja atau seijin
Raja, pelanggaran atas fasal ini adalah hukuman mati.
Suatu
hari Raja mengajak Abunawas berburu ke hutan, ndilalah Raja kebelet berak,
karena
di hutan maka Raja berak di sungai yang airnya mengalir ke arah utara.
Raja
berak di suatu tempat, eee Abunawas ikut berak juga di sebelah selatan dari
Raja, begitu Raja melihat ada kotoran lain selain kotoran nya, raja marah, dan
diketahui yang berak adalah Abunawas . Abunawas dibawa ke pengadilan, Abunawas
divonis hukuman mati, sebelum hukuman dilaksanakan, Abunawas diberi kesempatan
membela diri, kata Abunawas "Raja yang mulia, aku rela dihukum mati, tapi
aku akan sampaikan alasanku kenapa aku ikut berak bersama raja saat itu, itu
adalah bukti kesetiaanku pada paduka raja, karena sampai kotoran Rajapun harus
aku kawal dengan kootoranku, itulah pembelaanku dan alasanku Raja. Hukumlah
aku." Abunawas yang divonis mati, diampuni dan malah diberi hadiah rumah
dan perahu kecil untuk tempat kotoran nya mengawal kotoran raja.
Ibu
Sejati
Kisah ini mirip dengan kejadian pada masa Nabi Sulaiman ketika
masih muda.
Entah sudah berapa hari kasus seorang bayi yang diakui oleh dua
orang ibu yang sama-sama ingin memiliki anak.
Hakim rupanya mengalami kesulitan memutuskan dan menentukan
perempuan yang mana sebenarnya yang menjadi ibu bayi itu. Karena kasus
berlarut-larut, maka terpaksa hakim menghadap Baginda Raja untuk minta bantuan.
Baginda pun turun tangan. Baginda memakai taktik rayuan. Baginda berpendapat
mungkin dengan cara-cara yang amat halus salah satu, wanita itu ada yang mau
mengalah. Tetapi kebijaksanaan Baginda Raja Harun Al Rasyid justru membuat
kedua perempuan makin mati-matian saling mengaku bahwa bayi itu adalah anaknya.
Baginda berputus asa. Mengingat tak ada cara-cara lain lagi yang bisa
diterapkan Baginda memanggil Abu Nawas. Abu Nawas hadir menggantikan hakim. Abu
Nawas tidak mau menjatuhkan putusan pada hari itu melainkan menunda sampai hari
berikutnya. Semua yang hadir yakin Abu Nawas pasti sedang mencari akal seperti
yang biasa dilakukan. Padahal
penundaan itu hanya disebabkan algojo tidak ada di tempat.
Keesokan hari sidang pengadilan diteruskan lagi. Abu Nawas memanggrl algojo
dengan pedang di tangan. Abu Nawas memerintahkan agar bayi itu diletakkan di
atas meja. "Apa yang akan kau perbuat terhadap bayi itu?" kata kedua
perempuan itu saling memandang. Kemudian Abu Nawas melanjutkan dialog.
"Sebelum saya mengambil tindakan apakah salah satu dari kalian bersedia
mengalah dan menyerahkan bayi itu kepada yang memang berhak memilikinya?"
"Tidak, bayi itu adalah anakku." kata kedua perempuan
itu serentak.
"Baiklah, kalau kalian memang sungguh-sungguh sama
menginginkan bayi itu dan tidak ada yang mau mengalah maka saya terpaksa
membelah bayi itu menjadi dua sama rata." kata Abu Nawas mengancam.
Perempuan pertama girang bukan kepalang, sedangkan perempuan kedua
menjerit-jerit histeris. "Jangan, tolongjangan dibelah bayi itu. Biarlah
aku rela bayi itu seutuhnya diserahkan kepada perempuan itu." kata
perempuan kedua. Abu Nawas tersenyum lega. Sekarang topeng mereka sudah
terbuka. Abu Nawas segera mengambil bayi itu dan langsurig menyerahkan kepada
perempuan kedua.
Abu Nawas minta agar perempuan pertama dihukum sesuai dengan
perbuatannya. Karena tak ada ibu yang tega menyaksikan anaknya
disembelih. Apalagi di depan mata. Baginda Raja merasa puas terhadap keputusan
Abu Nawas. Dan .sebagai rasa terima kasih, Baginda menawari Abu Nawas menjadi
penasehat hakim kerajaan. Tetapi Abu Nawas menolak. la lebih senang menjadi
rakyat biasa.
Pekerjaan
Yang Mustahil
Baginda baru saja membaca kitab tentang kehebatan Raja Sulaiman
yang mampu memerintahkan, para jin memindahkan singgasana Ratu Bilqis di dekat
istananya. Baginda tiba-tiba merasa tertarik. Hatinya mulai tergelitik untuk
melakukan hal yang sama. Mendadak beliau ingin istananya dipindahkan ke atas
gunung agar bisa lebih leluasa menikmati pemandangan di sekitar. Dan bukankah
hal itu tidak mustahil bisa dilakukan karena ada Abu Nawas yang amat cerdik di
negerinya. Abu Nawas segera dipanggil untuk menghadap Baginda Raja Harun Al
Rasyid. Setelah Abu Nawas dihadapkan, Baginda bersabda,
"Sanggupkah engkau memindahkan istanaku ke atas gunung agar
aku lebih leluasa melihat negeriku?" tanya Baginda.
Abu Nawas tidak langsung menjawab. la berpikir sejenak hingga
keningnya berkerut. Tidak mungkin menolak perintah Baginda kecuali kalau memang
ingin dihukum. Akhirnya Abu Nawas terpaksa menyanggupi proyek raksasa itu. Ada
satu lagi permintaan dari Baginda, pekerjaan itu harus selesai hanya dalam
waktu sebulan. Abu Nawas pulang dengan hati masgul. Setiap malam ia hanya
berteman dengan rembulan dan bintang-bintang. Hari-hari dilewati dengan
kegundahan. Tak ada hari yang lebih berat dalam hidup Abu Nawas kecuali
hari-hari ini.Tetapi pada hari kesembilan ia tidak lagi merasa gundah gulana.
Keesokan harinya Abu Nawas menuju istana. la menghadap Baginda untuk membahas
pemindahan istana. Dengan senang hati Baginda akan mendengarkan, apa yang
diinginkan Abu Nawas.
"Ampun Tuariku, hamba datang ke sini hanya untuk mengajukan
usul untuk memperlancar pekerjaan hamba nanti." kata Abu Nawas.
"Apa usul itu?"
"Hamba akan memindahkan istana Paduka yang mulia tepat pada
Hari Raya Idul Qurban yang kebetulan hanya kurang dua puluh hari lagi."
"Kalau hanya usulmu, baiklah." kata Baginda.
"Satu lagi Baginda….. " Abu Nawas menambahkan.
"Apa lagi?" tanya Baginda.
"Hamba mohon Baginda menyembelih sepuluh ekor sapi yang gemuk
untuk dibagikan langsung kepada para fakir miskin." kata Abu Nawas.
"Usulmu kuterima." kata Baginda menyetujui.Abu Nawas
pulang dengan perasaan riang gembira. Kini tidak ada lagi yang perlu
dikhawatirkan. Toh nanti bila waktunya sudah tiba, ia pasti akan dengan mudah
memindahkan istana Baginda Raja. Jangankan hanya memindahkan ke puncak gunung,
ke dasar samudera pun Abu Nawas sanggup.
Desas-desus mulai tersebar ke seluruh pelosok negeri. Hampir semua
orang harap-harap cemas. Tetapi sebagian besar rakyat merasa yakin atas kemampuan
Abu Nawas. Karena selama ini Abu Nawas belum pernah gagal
melaksanakan tugas-tugas aneh yang dibebankan di atas pundaknya.
Namun ada beberapa orang yang meragukan keberhasilan Abu Nawas kali ini. Saat-saat
yang dinanti-nantikan tiba. Rakyat berbondong-bondong menuju lapangan untuk
melakukan salat Hari Raya Idul Qurban. Dan seusai salat, sepuluh sapi sumbangan
Baginda Raja disembelih lalu dimasak kemudian segera dibagikan kepada fakir
miskin.
Kini giliran Abu Nawas yang harus melaksanakan tugas berat itu.
Abu Nawas berjalan menuju istana diikuti oleh rakyat. Sesampai di depan istana
Abu Nawas bertanya kepada Baginda Raja, "Ampun Tuanku yang mulia, apakah
istana sudah tidak ada orangnya lagi?"
"Tidak ada." jawab Baginda Raja singkat.
Kemudian Abu Nawas berjalan beberapa langkah mendekati istana. la
berdiri sambil memandangi istana. Abu Nawas berdiri mematung seolah-olah ada
yang ditunggu. Benar. Baginda Raja akhirnya tidak sabar.
"Abu Nawas, mengapa engkau belum juga mengangkat
istanaku?" tanya Baginda Raja.
"Hamba sudah siap sejak tadi Baginda." kata Abu Nawas.
"Apa maksudmu engkau sudah siap sejak tadi? Kalau engkau
sudah siap. Lalu apa yang engkau tunggu?" tanya Baginda masih diliputi
perasaan heran.
"Hamba menunggu istana Paduka yang mulia diangkat oleh
seluruh rakyat yang hadir untuk diletakkan di atas pundak hamba. Setelah itu
hamba tentu akan memindahkan istana Paduka yang mulia ke atas gunung sesuai dengan
titah Paduka."
Baginda Raja Harun Al Rasyid terpana. Beliau tidak menyangka Abu
Nawas masih bisa keluar dari lubang jarum.
Abu Nawas dan Kisah Enam Ekor Lembu yang Pandai Bicara
Pada
suatu hari, Sultan Harun al-Rasyid memanggil Abu Nawas menghadap ke Istana.
Kali ini Sultan ingin menguji kecerdikan Abu Nawas. Sesampainya di hadapan
Sultan, Abu Nawaspun menyembah. Dan Sultan bertitah, “Hai, Abu Nawas, aku menginginkan
enam ekor lembu berjenggot yang pandai bicara, bisakah engkau mendatangkan
mereka dalam waktu seminggu? Kalau gagal, akan aku penggal lehermu.
“Baiklah, tuanku Syah Alam, hamba
junjung tinggi titah tuanku.”
Semua
punggawa istana yang hadir pada saat itu, berkata dalam hati, “Mampuslah kau
Abu Nawas!”
Abu
Nawas bermohon diri dan pulang ke rumah. Begitu sampai di rumah, ia duduk
berdiam diri
merenungkan
keinginan Sultan. Seharian ia tidak keluar rumah, sehingga membuat tetangga
heran. Ia baru keluar rumah persis setelah seminggu kemudian, yaitu batas waktu
yang diberikan Sultan kepadanya.
Ia
segera menuju kerumunan orang banyak, lalu ujarnya, “Hai orang-orang muda, hari
ini hari apa?”
Orang-orang
yang menjawab benar akan dia lepaskan, tetapi orang-orang yang menjawab salah,
akan ia tahan. Dan ternyata, tidak ada seorangpun yang menjawab dengan benar.
Tak ayal, Abu Nawas pun marah-marah kepada mereka, “Begitu saja kok anggak bisa
menjawab. Kalau begitu, mari kita menghadap Sultan Harun Al-Rasyid, untuk
mencari tahu kebenaran yang sesungguhnya.” Keesokan harinya, balairung istana
Baghdad dipenuhi warga masyarakat yang ingin tahu kesanggupan Abu Nawas mambawa
enam ekor Lembu berjenggot. Sampai di depan Sultan Harun Al-Rasyid, ia pun
menghaturkan sembah dan duduk dengan khidmat.
Lalu,
Sultan berkata, “Hai Abu Nawas, mana lembu berjenggot yang pandai bicara itu?”
Tanpa
banyak bicara, Abu Nawas pun menunjuk keenam orang yang dibawanya itu, “Inilah
mereka, tuanku Syah Alam.”
“Hai, Abu Nawas, apa yang kau tunjukkan
kepadaku itu?”
“Ya, tuanku Syah Alam, tanyalah pada
mereka hari apa sekarang,” jawab Abu Nawas.
Ketika
Sultan bertanya, ternyata orang-orang itu memberikan jawaban berbeda-beda. Maka
berujarlah Abu Nawas, “Jika mereka manusia, tentunya tahu hari ini hari apa.
Apalagi jika tuanku menanyakan hari yang lain, akan tambah pusinglah mereka.
Manusia atau hewan kah mereka ini? “Inilah lembu berjenggot yang pandai bicara
itu, Tuanku.”
Sultan
heran melihat Abu Nawas pandai melepaskan diri dari ancaman hukuman. Maka
Sultan pun memberikan hadiah 5.000 dinar kepada Abu Nawas.
Abu Nawas dan Pengemis yang Kedinginan dalam Kolam
Ada
seorang saudagar di Bagdad yang mempunyai sebuah kolam yang airnya terkenal
sangat dingin. Konon tidak seorangpun yang tahan berendam didalamnya
berlama-lama, apalagi hingga separuh malam.
“Siapa yang berani berendam semalam di
kolamku, aku beri hadiah sepuluh ringgit,” kata saudagar itu. Ajakan tersebut
mengundang banyak orang untuk mencobanya. Namun tidak ada yang tahan semalam, paling
lama hanya mampu sampai sepertiga malam.
Pada
suatu hari datang seorang pengemis kepadanya. “Maukah kamu berendam di dalam
kolamku ini semalam? Jika kamu tahan aku beri hadiah sepuluh ringgit,” kata si
saudagar.
“Baiklah akan kucoba,” jawab si
pengemis. Kemudian dicelupkannya kedua tangan dan kakinya ke dalam kolam,
memang air kolam itu dingin sekali. “Boleh juga,” katanya kemudian.
“Kalau begitu nanti malam kamu bisa
berendam disitu,” kata si saudagar.
Menanti
datangnya malam si pengemis pulang dulu ingin memberi tahu anak istrinya
mengenai
rencana
berendam di kolam itu.
“Istriku,” kata si pengemis
sesampainya di rumah. “Bagaimana pendapatmu bila aku berendam
semalam
di kolam saudagar itu untuk mendapat uang sepuluh ringgit? Kalau kamu setuju
aku akan mencobanya.”
“Setuju,” jawab si istri, “Moga-moga
Tuhan menguatkan badanmu.”
Kemudian
pengemis itu kembali ke rumah saudagar. “Nanti malam jam delapan kamu boleh
masuk ke kolamku dan boleh keluar jam enam pagi,” kata si saudagar, “Jika tahan
akan ku bayar upahmu.” Setelah sampai waktunya masuklah si pengemis ke dalam
kolam, hampir tengah malam ia kedinginan sampai tidak tahan lagi dan ingin
keluar, tetapi karena mengharap uang upah sepuluh ringgit, ditahannya maksud
itu sekuat tenaga. Ia kemudian berdoa kepada Tuhan agar airnya tidak terlalu dingin
lagi. Ternyata doanya dikabulkan, ia tidak merasa kedinginan lagi. Kira-kira
jam dua pagi anaknya datang menyusul. Ia khawatir jangan-jangan bapaknya mati
kedinginan. Hatinya sangat gembira ketika dilihat bapaknya masih hidup.
Kemudian ia menyalakan api di tepi kolam dan menunggu sampai pagi. Siang
harinya pengemis itu bangkit dari kolam dan buru-buru menemui si saudagar untuk
minta upahnya. Namun saudagar itu menolak membayar, “Aku tidak mau membayar,
karena anakmu membuat api di tepi kolam, kamu pasti tidak kedinginan.”
Namun
si pengemis tidak mau kalah, “Panas api itu tidak sampai ke badan saya, selain
apinya jauh, saya kan berendam di air, masakan api bisa masuk ke dalam air?”
“Aku tetap tidak mau membayar upahmu,”
kata saudagar itu ngotot. “Sekarang terserah kamu, mau melapor atau berkelahi
denganku, aku tunggu.”
Dengan
perasaan gondok pengemis itu pulang ke rumah, “Sudah kedinginan setengah mati,
tidak dapat uang lagi,” pikirnya. Ia kemudian mengadukan penipuan itu kepada
seorang hakim. Boro-boro pengaduannya di dengar, Hakim itu malahan membenarkan
sikap sang saudagar. Lantas ia berusaha menemui orang-orang besar lainnya untuk
diajak bicara, namun ia tetap disalahkan juga.
“Kemana lagi aku akan mengadukan
nasibku ini,” kata si pengemis dengan nada putus asa. “Ya Allah, engkau jugalah
yang tahu nasib hamba-Mu ini, mudah-mudahan tiap-tipa orang yang benar engkau menangkan.”
Doanya dalam hati.
Ia
pun berjalan mengikuti langkah kakinya dengan perasaan yang semakin dongkol.
Dengan takdir Allah ia bertemu dengan Abu Nawas di sudut jalan.
“Hai, hamba Allah,” Tanya Abu Nawas,
ketika melihat pengemis itu tampak sangat sedih. “mengapa anda kelihatan murung
sekali? Padahal udara sedemikian cerah.”
“Memang benar hamba sedang dirundung
malang,” kata si pengemis, lantas diceritakan musibah yang menimpa si pengemis
sambil mengadukan nasibnya.
“Jangan sedih lagi,” kata Abu Nawas
ringan. “Insyaallah aku dapat membantu menyelesaikan
masalahmu.
Besok datanglah ke rumahku dan lihatlah caraku, niscaya kamu menang dengan izin
Allah.”
“Terima kasih banyak, anda bersedia
menolongku,” kata si pengemis. Lantas keduanya berpisah. Abu Nawas tidak pulang
ke rumah, melainkan menghadap Baginda Sultan di Istana. “Apa kabar, hai Abu Nawas?”
sapa Baginda Sultan begitu melihat batang hidung Abu Nawas. “Ada masalah apa
gerangan hari ini?”
“Kabar baik, ya Tuanku Syah Alam,”
jawab Abu Nawas. “jika tidak keberatan patik silahkan baginda datang kerumah
patik, sebab patik punya hajat.”
“Kapan aku mesti datang ke rumahmu?”
tanya baginda Sultan.
“Hari Senin jam tujuh pagi, tuanku,”
jawa Abu Nawas.
“Baiklah,” kata Sultan, aku pasti
datang ke rumahmu.”
Begitu
keluar dari Istana, Abu Nawas langsung ke rumah saudagar yang punya kolam,
kemudian ke rumah tuan hakim dan pembesar-pembesar lainnya yang pernah
dihubungi oleh si pengemis. Kepada mereka Abu Nawas menyampaikan undangan untuk
datang kerumahnya senin depan.
Hari
senin yang ditunggu, sejak jam tujuh pagi rumah Abu Nawas telah penuh dengan
tamu yang
diundang,
termasuk baginda Sultan. Mereka duduk di permadani yang sebelumnya telah di
gelar oleh tuan rumah sesuai dengan pangkat dan kedudukan masing-masing.
Setelah semuanya terkumpul, Abu Nawas mohon kepada sultan untuk pergi
kebelakang rumah, ia kemudian menggantung sebuah periuk besar pada sebuah
pohon, menjerangnya – menaruh di atas api.
Tunggu
punya tunggu, Abu Nawas tidak tampak batang hidungnya, maka Sultan pun
memanggil Abu Nawas, “kemana gerangan si Abu Nawas, sudah masakkah nasinya atau
belum?” gerutu Sultan.
Rupanya
gerutuan Sultan di dengar oleh Abu Nawas, ia pun menjawab, “Tunggulah sebentar
lagi,
tuanku
Syah Alam.”
Baginda
pun diam, dan duduk kembali. Namun ketika matahari telah sampai ke ubun-ubun,
ternyata Abu Nawas tak juga muncul dihadapan para tamu. Perut baginda yang
buncit itu telah keroncongan.
“Hai
Abu Nawas, bagaimana dengan masakanmu itu? Aku sudah lapar, kata Baginda.
“Sebentar lagi, ya Syah Alam,” sahut
tuan rumah.
Baginda
masih sabar, ia kemudian duduk kembali, tetapi ketika waktu dzuhur sudah hampir
habis tak juga ada hidangan yang keluar, baginda tak sabar lagi, ia pun
menyusul Abu Nawas dibagian belakang rumah, di ikuti tamu-tamu lainnya. Mereka
mau tahu apa sesungguhnya yang dikerjakan tuan rumah, ternyata Abu Nawas sedang
mengipa-ngipas api di tungkunya.
“Hai Abu Nawas, mengapa kamu membuat
api di bawah pohon seperti itu? Tanga baginda Sultan. Abu Nawas pun bangkit,
demi mendengar pernyataan baginda. “Ya tuanku Syah Alam, hamba sedang memasak
nasi, sebentar lagi juga masak,” jawabnya.
“Menanak nasi?” tanya baginda, “Mana
periuknya?”
“Ada, tuanku,” jawab Abu nawas sambil
mengangkat mukanya ke atas.
“Ada?” tanya beginda keheranan.
“Mana?” ia mendongakkan mukanya ke atas mengikuti gerak Abu Nawas, tampak di
atas sana sebuah periuk besar bergantung jauh dari tanah.
“Hai, Abu Nawas, sudah gilakah kamu?”
tanya Sultan. “Memasak nasi bukan begitu caranya, periuk di atas pohon, apinya
di bawah, kamu tunggu sepuluh hari pun beras itu tidak bakalan jadi nasi.”
“Begini, Baginda,” Abu Nawas berusaha
menjelaskan perbuatannya. “Ada seorang pengemis berjanji dengan seorang
saudagar, pengemis itu disuruh berendam dalam kolam yang airnya sangat dingin
dan akan diupah sepuluh ringgit jika mampu bertahan satu malam. Si pengemis
setuju karena mengharap upah sepuluh ringgit dan berhasil melaksanakan
janjinya. Tapi si saudagar tidak mau membayar, dengan alasan anak si pengemis
membuat api di pinggir kolam.” Lalu semuanya diceritakan kepada Sultan lengkap
dengan sikap tuan hakim dan para pembesar yang membenarkan sikap si saudagar.
“Itulah
sebabnya patik berbuat seperti ini.”
“Boro-boro nasi itu akan matang,” kata
Sultan, “Airnya saja tidak bakal panas, karena apinya terlalu jauh.”
“Demikian pula halnya si pengemis,”
kata Abu Nawas lagi. “Ia di dalam air dan anaknya membuat api di tanah jauh
dari pinggir kolam. Tetapi saudagar itu mengatakan bahwa si pengemis tidak
berendam di air karena ada api di pinggir kolam, sehingga air kolam jadi
hangat.”
Saudagar
itu pucat mukanya. Ia tidak dapat membantah kata-kata Abu Nawas. Begitu pula
para
pembesar
itu, karena memang demikian halnya.
“Sekarang aku ambil keputusan begini,”
kata Sultan. “Saudagar itu harus membayar si pengemis
seratus
dirham dan di hukum selama satu bulan karena telah berbuat salah kepada orang
miskin.
Hakim
dan orang-orang pembesar di hukum empat hari karena berbuat tidak adil dan
menyalahkan orang yang benar.”
Saat
itu juga si pengemis memperoleh uangnya dari si saudagar. Setelah menyampaikan
hormat kepada Sultan dan memberi salam kepada Abu Nawas, ia pun pulang dengan
riangnya. Sultan kemudian memerintah mentrinya untuk memenjarakan saudagar dan
para pembesar sebelum akhirnya kembali ke Istana dalam keadaan lapar dan
dahaga. Akan halnya Abu Nawas, ia pun
sebenarnya perutnya keroncongan dan kehausan.
Abu Nawas dan Menteri yang Zalim
Di Negeri Baghdad dahulu kala ada seorang menteri yang dikenal
sangat jahat perangainya,
sehingga ditakuti warganya. Ia tidak bisa melihat perempuan
cantik, terutama istri orang, pasti
diambilnya. Apabila membeli suatu barang, ia tidak pernah mau
membayar. Ihwal itu lama
kelamaan sampai juga ke telinga Abu Nawas sehingga membuat hatinya
panas. Maka Abu Nawas pun pasang niat tidak akan meninggalkan daerah itu
sebelum sang menteri menghembuskan nafas terakhir alias mati.
Kemudian
Abu Nawas berangkat ke tempat menteri itu tinggal dan sengaja menyewa rumah
yang berdekatan untuk melakukan investigasi. Setelah beberapa hari bergaul
dengan penduduk di situ, ia pun kenal dengan sang menteri dan bahkan bersahabat
baik. Begitu baiknya pendekatan yang dilakukan sampai-sampai menteri itu tidak
bisa mencium rencana busuk Abu Nawas. Abu Nawas boleh masuk dan keluar rumah
itu dengan bebas, sehingga ia tidak menaruh curiga sama sekali kepadanya. Di
dalam rumah itu Abu Nawas melihat sebuah tiang gantungan yang digunakan untuk
menggantung orang-orang yang bersalah kepada menteri itu. Cara menggantungnya
pun dengan cara yang sadis, yaitu kaki di atas dan kepala di bawah. Dalam
posisi demikian, orang itu dipukuli sampai mati.
“Dengan demikian memang betul
berita-berta yang aku dengar tentang menteri ini,”
pikir Abu
Nawas. “Nantikanlah, aku pasti akan membalas.”
“Hai orang muda,” kata Abu Nawas,
kepada seorang pemuda tampan yang sedang menggiring seekor lembu gemuk. “Apakah
lembu itu akan dijual?” Pertemuan itu terjadi ketika Abu Nawas berjalan-jalan di
sebuah sudut desa itu.
“Lembu ini tidak dijual,” jawab si
pemuda, “Karena ini warisan bapak hamba.”
“Lebih baik lembu itu dijual saja,”
Abu Nawas mencoba merayu. “Kalau laku dengan harga tinggi, kamu bisa berdagang
sehingga uang itu menjadi banyak.”
“Betul juga kata Tuan,” jawab si
pemuda setelah berpikir sejenak. “Namun untuk menjualnya hamba harus
berkonsultasi dengan ibu di rumah, kalau ibu setuju boleh tuan membelinya.”
“Itu akan lebih baik,” Ujar Abu Nawas.
Sementara anak muda itu pulang, Abu Nawas memeras otak, ia akan berusaha
memanfaatkan ketampanan wajah anak muda itu untuk melaksanakan rencananya.
“Hai menteriku, tunggulah bagianmu
kelak,” kata Abu Nawas dalam hati dengan perasaan geram.
“Ibu setuju menjual lembu ini,” kata
pemuda itu kepada Abu Nawas, setelah keduanya bertemu lagi.
“Bagus,” kata Abu Nawas, “Tetapi
sebenarnya bukan aku yang akan membeli lembumu, melainkan menteri yang zalim
itu. Oleh karena itu berikan harga yang pasti, sesudah itu kita membuat
perjanjian dan kamu yang akan melaksanakannnya. “Setuju?” Tanya Abu Nawas.
“Setuju!” jawab si pemuda.
“Giringlah lembumu itu ke kebun, dan
tunggulah aku di sana,” kata Abu Nawas. “Aku akan ke rumah menteri itu dan
setelah itu aku menemuimu.”
“Hai menteri, ada seorang pemuda yang
akan menjual seekor lembu gemuk,” kata Abu Nawas. “Jika Anda tertarik, silahkan
anda beli dengan harga yang pantas, tidak mahal, mari kita ke kebun itu.”
“Berapa harganya?” tanya si menteri
begitu sampai di kebun. Ia sangat tertarik dan ingin segera
membelinya.
“Lima puluh dinar,” jawab si pemuda.
“Boleh ditawar?” tanya si menteri. “Tidak bisa, karena lembu ini warisan bapak hamba,”
jawab si pemuda.
“Baik, pasti kebayar harga itu,” ujar
si menteri. Maka disodorkan ujung tali pengikat lembu kepada menteri, namun
ketika ditarik ternyata kosong. Rupanya diam-diam Abu Nawas telah melepas
binatang itu, namun karena harga telah disepakati, pemuda itu meminta
bayarannya.
“Mana lembunya?” tanya si menteri.
“Masa hanya talinya? Aku tidak sudi membayar.”
Keduanya
pun berbantah-bantahan dengan sengitnya. “Aku minta bayarannya,” kata si
pemuda. “Kalau tidak mau bayar, kembalikan lembuku.”
“Apa yang mesti kubayar, dan apa yang
harus kukembalikan,” kilah si menteri.
“Cuma tali
yang kau berikan kepadaku … Nih, ambillah, aku tidak butuh tali.”
“Kerjamu memang cuma menipu dan
menganiaya orang!” kata si pemuda lagi. “Kamu memang zalim, mau makan darah
orang kecil.”
Si
menteri tidak menggubris lagi perkataan itu, ia berjalan pulang kerumahnya.
Sementar si anak muda hatinya sangat sedih, lembu hilang, uang melayang.
“Barangkali memang itulah nasibku. Apa boleh buat,” keluhnya.
“Sudahkah kamu menerima pembayaran
harga lembumu?” tanya Abu Nawas kepada anak muda pada malam harinya.
“Hamba diperdaya menteri itu,” jawab
si pemuda dengan wajah nelangsa. “Lembu hilang, uang
melayang.”
“Coba ceritakan kata Abu Nawas. “Aku
kira jual beli berjalan lancar sehingga aku cepat-cepat pergi karena ada urusan
lain.”
Maka
diceritakanlah kejadian itu dengan nada mendongkol. “Sialan menteri itu,” ujar
si pemuda.
“Oh begitu, kata Abu Nawas. “Jangan
sedih, Insya Allah aku akan membantu.” Kemudian Abu Nawas minta si pemuda bersedia
melaksanakan rencana yang telah disusunnya untuk membunuh si menteri zalim itu.
Keesokan
harinya jam tujuh malam seorang wanita cantik berhenti di depan rumah si
menteri zalim, ia tampak membuang sesuatu yang dicabut dari kakinya.
“Hai Adinda, dari mana gerangan
asalmu?” tiba-tiba muncul suara dari sudut yang
gelap.
Suara itu ternyata milik menteri yang saat itu juga sedang berjalan-jalan di
depan
rumahnya. Hatinya amat girang begitu melihat wajah cantik yang tiba-tiba
muncul di
depan matanya.
“Hamba orang desa, tadi ketika
berjalan bersama suami, kaki hamba tertusuk duri. Hamba terpaksa berhenti untuk
menarik duri dari kaki, suami hamba tidak mau menunggu dan hamba ditinggal di
sini.
Hamba
tidak tahu jalan pulang ke rumah,” kata si perempuan itu dengan penuh iba, lalu
ia pun
menangis.
“Jika Adinda mau, silahkan mampir ke
rumah hamba sambil menunggu suami Adinda. Barangkali dia sekarang sedang
mencari Adinda,” kata si menteri. “Jangan takut.”
“Hamba takut kepada istri dan
pelayan-pelayan tuan,” kata perempuan muda itu.
“Kalau begitu, silahkan Adinda duduk
di sini, Kanda akan menyuruh istri pergi ke rumah ibunya
bersama
pelayan-pelayan itu,” kata si menteri. Maka sang menteri pun tergopoh-gopoh
masuk ke
rumahnya.
“Hai Adinda, katanya, “Sekarang ini
sebaiknya Adinda pergi ke rumah ibu karena sudah lama rasanya Adinda tidak
kesana.” “Jika demikian kehendak Kakanda, baiklah hamba kesana,” jawab istri si
menteri.
“Hai Adinda, kata si menteri kepada
perempuan muda itu setelah rumah kosong. “Silahkan masuk ke rumah hamba, karena
istri dan semua pelayan telah pergi.”
“Baiklah, katanya sambil mengikuti
langkah si menteri. Di dalam rumah dilihatnya
tali
gantungan seperti yang diceritakan Abu Nawas. Menteri itu mendorong si
perempuan
muda ke kamar dan mengajak tidur, namun ia mencoba menolak sambil
merajuk.
“Sebelum kita tidur, cobalah Kakanda
bergantung sebentar pada tali itu,” rayunya. “Seumur hidup hamba belum pernah
melihat orang bergantung ditali.”
Karena
terdorong oleh nafsu syahwat yang menggelora, permintaan itu dituruti si
menteri. “Tolong Adinda pegang tali gantungan ini kuat-kuat, jangan
dilepaskan,” katanya.
Menteri
itu kemudian memasukkan badannya kedalam tali gantungan, setelah itu si
perempuan
gadungan
melepaskan tali yang dipegangnya sehingga badan si menteri menggantung dengan
posisi kaki di atas dan kepala di bawah. Si perempuan pun mengeluarkan sebuah
pentungan lalu memukul badan dan kepala si menteri zalim itu sambil berujar.
“Hai menteri zalim, aku bukan perempuan, akulah pemilik lembu yang kau tipu,
sekarang terimalah pembalasanku. Aku minta harga lembuku, ayo bayar… bayar” Bak
– Bik – Buk… darah segar mengalir dari mulut, hidung dan telinga menteri itu, sehingga
ia tidak sadarkan diri. “Mampuslah kau,” teriak si pemuda.
Mengira
bahwa si menteri sudah mati, masuklah perempuan palsu itu ke dalam rumah, dan
menjarah barang-barang yang ada, sesudah itu barulah ia pulang dengan
menggondol harta kekayaan si menteri zalim Di tempat lain si istri menteri
mendapat firasat buruk, hatinya berebar-debar keras. “Ada apa gerangan di
rumahku?” pikirnya dalam hati, maka dengan bergegas pulanglah ia ke rumah.
Setiba
di rumah ia menjerit-jerit histeris lantaran dilihatnya suaminya tergantung
pingsan dengan kepala berdarah dan harta bendanya ludes. Ketika tali gantungan
dilepas, ternyata suaminya masih bernafas, meski terengah-engah. Kemudian
dipercikkan air mawar ke sekujur tubuhnya dan kepala menteri hingga siuman dan
membuka matanya.
“Ya Kakanda……” ucap si istri sambil
menangis meratapi nasib suaminya. “Kenapa Kanda bisa begini?”
Si
menteri tidak bisa segera menjawab pertanyaan itu, tapi lambat laun setelah
kesadarannya mulai pulih ia pun bisa menceritakan semua yang dialaminya.
Setelah itu ia jatuh sakit.
Abu
Nawas khawatir demi mendengar kabar itu, buru-buru ditemui si anak muda itu di
rumahnya.
“Mengapa
tidak kamu matikan dia?” tanya Abu Nawas. “Bukankah aku sudah pesan, jangan
kamu tinggal sebelum dia mati. Sekarang sebaiknya kamu tambah penyakit menteri
itu supaya mati.
“Bagaimana caranya?” tanya si pemuda,
ia tidak kalah khawatir dengan Abu Nawas.
“Berpura-puralah menjadi dukun, karena
saat ini menteri itu sedang mencari dukun, kata Abu Nawas.
“Selanjutnya
usahakan dengan caramu sendiri agar rumah itu kosong, dan setelah kosong
pukulilah menteri itu sampai mati, sebelum mati, jangan kamu tinggalkan dia.”
Esok
harinya datanglah seorang kakek tua bertongkat ke rumah menteri itu, ia memakai
jubah panjang dan serban putih dengan langkah terbungkuk-bungkuk.
“Tuan, tanya seorang pelayan menteri
itu, siapakah tuan ini?
“Aku ini dukun,” jawabnya, “Kenapa
kamu menyapa aku di tengah jalan seperti ini, tidak sopan berbuat seperti itu
kepada orang tua.”
“Maaf,” kata si pelayan, “Hamba
pelayan menteri, beliau saat ini sedang sakit dan perlu dukun, jika tuan suka,
silahkan masuk ke rumahnya.” “Ya tuan dukun, obatilah hamba ini,” kata si
menteri itu setelah dukun palsu itu duduk di samping pembaringannya. “Hamba
sakit…” lama-kelamaan suaranya hilang.
“Moga-moga hamba bisa mengobati tuan,”
jawab si dukun. “Tapi bisakah pelayan-pelayan itu disuruh mencari daun kayu
lengkap dengan akarnya. Daun itu memang sulit dicari tetapi banyak gunanya untuk
penyembuhan tuan.”
Menteri
itu kemudian menyuruh tiga orang pelayan untuk memenuhi permintaan dukun. Tak
lama kemudian dukun itu berkata lagi, “Maaf, hamba lupa, adalagi daun kayu yang
lain yang hamba butuhkan. Tolong pelayan yang lain disuruh mencari.” Maka
menteri itu pun menyuruh pelayan lainnya sehingga rumah itu kosong karena anak
dan istri menteri itu sabelumnya sudah pergi ke luar rumah.
Setelah
yakin bahwa rumah itu kosong, diambil sebuah pentungan dan dipukulnya sekujur
badan menteri itu sampai babak belur dan mengeluarkan darah dari hidung,
telinga dan mulunya. “Hai menteri, aku bukan dukun, tapi pemilik lembu yang
kamu tipu. Mana bayaranmu!” katanya.
Menteri
itu pingsan dan tidak bernafas lagi. Dikiranya si menteri sudah mati,
cepat-cepat dukun itu pergi, karena khawatir para pelayan itu segera kembali.
“Puas hatiku karena menteri itu sudah mati,” pikir si dukun palsu.
Kira-kira
satu jam kemudian para pelayan itu kembali dengan tangan hampa diikuti oleh
istri menteri.
Mereka
cemas melihat tuannya tergeletak dan dukun itu tidak ada lagi. Lalu istri
menteri itu menyiram badan suaminya dengan air mawar yang diminumkan seteguk ke
mulutnya. Tak lama kemudian menteri itu sadar namun belum bisa bicara.
“Ya istriku, orang itu bukan dukun,
tetapi yang punya lembu itu juga,” kata si menteri
setelah
sadar. “Panggil orang-orang alim dan kabarkan kepada mereka bahwa aku
sudah
mati. Masukkan badanku ke dalam keranda bersama sekerat batang pisang
yang
dibungkus kain putih sebagaimana mayat laiknya. Tetapi yang dimasukkan ke
liang
lahat nanti adalah batang pisang tadi, sedang badanku tetap dalam keranda
dan dibawa
pulang kembali. Dengan demikian orang yang punya lembu itu tidak
akan
datang lagi kemari. Kapan-kapan bila aku sembuh akan kucari orang itu untuk
membuat
perhitungan terakhir.”
Semua
pesan itu dikerjakan oleh istri menteri itu dengan baik. Tetap dasar Abu Nawas,
ia berhasil mencium akal busuk itu. Maka ditemuinya si pemilik lembu. “Kenapa
tidak kamu pukul sampai mati menteri itu?” bertanya Abu Nawas.
“Orang itu sudah mati,” kata si
pemuda. “Ia tidak bergerak dan tidak bernafas lagi, karena darah keluar dari
hidung dan telinganya.”
“Saat ini menteri itu masih hidup tapi
pura-pura mati,” kata Abu Nawas. Lalu diceritakannya rencana menteri tadi dan
rencananya sendiri agar menteri itu benar-benart mati, sebab jika ia masih
hidup juga aku tidak dapat menjamin nasibmu kelak,”
“Hai saudara, maukan Anda aku bayar
untuk menaiki kuda yang cepat larinya?” kata Abu Nawas
kepada
seorang joki yang berbadan tinggi tegap, dekatilah kuburan menteri itu, jika
jenazah sudah sampai ke liang kubur, berteriaklah keras-keras, “Akulah pemilik
lembu”, kemudian paculah kudamu sekencang-kencangnya. “Setuju?” “Nah, ini
uangnya, pergilah.”
Esok
harinya iring-iringan jenazah menteri itu berangkat dari rumah lengkat dengan
orang besar, orang alim, sanak keluarga, dan sahabat almarhum. Begitu sampai
dekat liang lahat, terdengar teriakan
“Akulah
pemilik lembu”.
Suasana
di kuburan menjadi kacau, karena para pelayat kemudian berlarian ingin mengejar
orang yang berteriak tadi. Namun apa lacur, orang yang dikejar sudah kabur
dengan kudanya, sementara keranda ditinggal tidak terurus. Pada saat itulah si
pemuda pemilik lembu yang sebenarnya muncul.
Rupanya
ia ikut dalam barisan pelayat. “Hai menteri, akulah pemilik lembu yang kamu
tipu, sekarang saatnya kamu harus membayar lunas utangmu. Tidak akan kubiarkan
nyawamu tetap bersarang di badanmu.” Lalu di pukulnya menteri itu sekuat tenaga
hingga benar-benar mati. Setelah itu ia pulang ke rumah.
Akan
halnya joki tadi, akhirnya ia terkejar dan tertangkap dan kemudian dibawa ke
kuburan menteri.
Upacara
pemakaman yang tadinya hanya pura-pura menjadi upacara sungguhan karena menteri
yang diusung di dalam keranda itu benar-benar mati, badannya hancur dan tidak
bernafas lagi tanpa diketahui siapa pelakunya. Hal itu mengagetkan seluruh
pelayat.
Setelah
itu orang-orang pulang ke rumah masing-masing dengan hati masygul dan heran.
Sedangkan si joki dibawa oleh anak-anak menteri kerumahnya. “Apa sebab kamu
berteriak dan mengaku sebagai orang yang punya lembu?” tanya mereka.
“Aku tidak tahu sebabnya, aku hanya
diupah untuk berteriak seperti itu,” jawab si joki.
“Siapa yang mengupah kamu?” Tanya
anak-anak meteri. “Abu Nawas,” jawab si joki.
“Hai Abu Nawas,” kata anak menteri
setelah menemukan Abu Nawas, kenapa kamu mengupah untuk berteriak seperti itu
dan menganiaya bapakku?”
“Menganiaya bapakmu?” Abu Nawas balik
bertanya. “Bertanyalah yang benar.”
“Engkau suruh orang itu berteriak
mengaku sebagai orang yang punya lembu, maka kami kejar dia, karena yang
menyebabkan bapakku sakit tiada lain adalah orang yang punya lembu, bukan dari
Allah.
“Oh begitu,” kata Abu Nawas sambil
senyum kecil. “Jadi kamu tidak tahu bahwa orang yang punya lembu itu sudah
ditakdirkan Allah untuk berbuat demikian karena bapakmu terlalu zalim, penipu, penganiaya,
pengisap darah orang kecil, dan sebagainya. Rasanya tidak usah diperpanjang
masalah ini, yang akan membuatmu malu besar, lebih baik kamu doakan saja agar
bapakmu diampuni Allah.”
Anak
menteri itu terdiam, sebab ia tahu semua perbuatan bapaknya. “Barangkali memang
demikian takdir bapakku,” pikirnya dalam hati sambil berjalan pulang ke rumah.
Warga
kota itu – termasuk orang yang punya lembu – merasa senang dan tenang hatinya
karena tidak ada lagi orang yang akan berbuat zalim.
Sedangkan
Abu Nawas segera kembali ke rumahnya. “Niatku sudah terlaksana,” pikirnya.
“Siapa tahu barangkali Khalifah Harun Al-Rasyid sedang menanti kedatanganku ke
istana beliau, lagi pula aku juga sudah sangat rindu kepada Baginda Sultan.”
Cara Abu Nawas Merayu Tuhan
Tak selamanya Abu Nawas bersikap konyol. Kadang-kadang timbul
kedalaman hatinya yang
merupakan bukti kesufian dirinya. Bila sedang dalam kesempatan
mengajar, ia akan memberikan jawaban-jawaban yang berbobot sekalipun ia tetap
menyampaikannya dengan ringan.
Seorang
murid Abu Nawas ada yang sering mengajukan macam-macam pertanyaan. Tak jarang
ia juga mengomentari ucapan-ucapan Abu Nawas jika sedang memperbincangkan
sesuatu. Ini terjadi saat Abu Nawas menerima tiga orang tamu yang mengajukan
beberapa pertanyaan kepada Abu Nawas.
“Manakah yang lebih utama, orang yang
mengerjakan dosa-dosa besar atau orang yang mengerjakan dosa-dosa kecil?” ujar
orang yang pertama.
“Orang yang mengerjakan dosa kecil,”
jawab Abu Nawas.
“Mengapa begitu,” kata orang pertama
mengejar.
“Sebab dosa kecil lebih mudah diampuni
oleh Allah,” ujar Abu Nawas. Orang pertama itupun manggutmanggut sangat puas
dengan jawaban Abu Nawas.
Giliran
orang kedua maju. Ia ternyata mengajukan pertanyaan yang sama, “Manakah yang
lebih utama, orang yang mengerjakan dosa-dosa besar atau orang yang mengerjakan
dosa-dosa kecil?” tanyanya.
“Yang utama adalah orang yang tidak
mengerjakan keduanya,” ujar Abu Nawas.
“Mengapa demikian?” tanya orang kedua
lagi.
“Dengan tidak mengerjakan keduanya,
tentu pengampunan Allah sudah tidak diperlukan lagi,” ujar Abu Nawas santai.
Orang kedua itupun manggut-manggut menerima jawaban Abu Nawas dalam hatinya.
Orang
ketiga pun maju, pertanyaannya pun juga seratus persen sama. “Manakah yang
lebih utama, orang yang mengerjakan dosa-dosa besar atau orang yang mengerjakan
dosa-dosa kecil?” tanyanya. “Orang yang mengerjakan dosa besar lebih utama,” ujar Abu
Nawas.
“Mengapa bisa begitu?” tanya orang
ktiga itu lagi.
“Sebab pengampunan Allah kepada
hamba-Nya sebanding dengan besarnya dosa hamba-Nya,” ujar Abu Nawas kalem.
Orang ketiga itupun merasa puas argumen tersebut. Ketiga orang itupun lalu beranjak
pergi.
Si
murid yang suka bertanya kontan berujar mendengar kejadian itu. “Mengapa
pertanyaan yang sama bisa menghasilkan tiga jawaban yang berbeda,” katanya
tidak mengerti.
Abu
Nawas tersenyum. “Manusia itu terbagi atas tiga tingkatan, tingkatan mata,
tingkatan otak dan tingkatan hati,” jawab Abu Nawas.
“Apakah tingkatan mata itu?” tanya si
murid.
“Seorang anak kecil yang melihat
bintang di langit, ia akan menyebut bintang itu
kecil
karena itulah yang tampak dimatanya,” jawab Abu Nawas memberi perumpamaan.
“Lalu apakah tingkatan otak itu?”
tanya si murid lagi.
“Orang pandai yang melihat bintang di
langit, ia akan mengatakan bahwa bintang itu besar karena ia memiliki
pengetahuan,” jawab Abu Nawas.
“Dan apakah tingkatan hati itu?” Tanya
si murid lagi.
“Orang pandai dan paham yang melihat
bintang di langit, ia akan tetap mengatakan bahwa bintang itu kecil sekalipun
ia tahu yang sebenarnya bintang itu besar, sebab baginya tak ada satupun di
dunia ini yang lebih besar dari Allah SWT,” jawab Abu Nawas sambil tersenyum.
Si
murid pun mafhum. Ia lalu mengerti mengapa satu pertanyaan bisa mendatangkan
jawaban yang berbeda-beda. Tapi si murid itu bertanya lagi.
“Wahai guruku, mungkinkah manusia itu
menipu Tuhan?” tanyanya.
“Mungkin,” jawab Abu Nawas santai
menerima pertanyaan aneh itu.
“Bagaimana caranya?” tanya si murid
lagi.
“Manusia bisa menipu Tuhan dengan
merayu-Nya melalui pujian dan doa,” ujar Abu Nawas.
“Kalau begitu, ajarilah aku doa itu,
wahai guru,” ujar si murid antusias.
“Doa itu adalah, “Ialahi lastu lil
firdausi ahla, Wala Aqwa alannaril Jahimi, fahabli
taubatan
waghfir dzunubi, fa innaka ghafiruz dzambil adzimi.” (Wahai Tuhanku, aku
tidak
pantas menjadi penghuni surga, tapi aku tidak kuat menahan panasnya api
neraka.
Sebab itulah terimalah tobatku dan ampunilah segala dosa-dosaku,
sesungguhnya
Kau lah Dzat yang mengampuni dosa-dosa besar).
Banyak
orang yang mengamalkan doa yang merayu Tuhan ini.
Cerita lucu: "Abunanawas & gajah"
Raja:
Hai abunawas! engkau terkenal cerdik & pandai, aku ingin melihat itu, kalau
engkau
benar2 hebat, maka buatlah gajah kesayanganku ini mengangkat kakinya,
terserah
kaki yg mana, kemudian buatlah jg dia menggelengkan kepalanya. Kalau kau berhasil,
maka akan ku kabulkan apapun permohonanmu, karena siapapun di negeri antah
berantah ini tdk ada yg dpt melakukannya.
Abunawas;
Baiklah baginda. (maka dengan akal cerdiknya abunawas mendekati sang gajah yg
berkelamin laki2 itu, dan... menarik kemaluannya, maka !!!AaAaUuuu!!!... sang
gajah terkejut & sedikit kesakitan & mengangkat2 kakinya.)
Raja:
Berikan tepuk tangan buat Abunawas!... Eit! jangan senang dulu kamu! Selesaikan
saja yg berikutnya. Abinawas: Siap baginda.
(lagi2
Abunawas mendekati sang gajah, dan berbisik ditelinganya 'hai gajah dongo! Apa mau
yg seperti tadi lagi?!'... sang gajah pun dengan keras menggeleng2kan
kepalanya). .....Sang Raja & seluruh rakyat yg menyaksikan melongo &
terdiam kagum melihat kehebatan Abunawas.
1 komentar:
Bagus Ceritanya, semoga Tambah Rame Peminat membaca Di Blogger Ini, Terus Menulis dan Berkarya.
Posting Komentar